Alkisah, sekitar tahun 1952 tersebutlah tiga orang pemuda –masing-masing berumur sekitar 36 tahun - yang cukup ‘idealis’. Mereka adalah Alwi bin Abdullah Alatas, Ali bin Husen Shahab dan Alwi bin Husen Shahab. Ketiganya adalah adalah sahabat yang sering saling mengunjungi dan berbincang bersama.
Suatu sore di beranda rumah Ali bin Husen Shahab, Alwi bin Abdullah melontarkan ide yang ketika itu bak sebuah mimpi di tengah hari. Dia berkeinginan mendirikan sebuah panti asuhan untuk menampung, menghidupi, mengayomi, dan membina anak-anak yatim. Maklum, kondisi ekonomi saat itu – tak lama setelah kemerdekaan – masih tak menentu. Buntutnya, tak sedikit orang tua yang tidak bisa menghidupi anaknya dengan layak. Apalagi, wanita-wanita yang telah ditinggal suaminya.
Ide yang meletup sore itu rupanya terus menggelinding bak bola salju. Tapi tiga orang itu seperti menemui jalan buntu. Besarnya ongkos yang mesti dikeluarkan dan ketiadaan dana hampir membuat mereka benar-benar membentur tembok tebal. Rencana mereka hampir kandas di tengah jalan.
Namun, Allah SWT rupanya berkehendak lain. Di tengah kebuntuan itu muncul Muhammad bin Alwi Assegaf. Rencana tiga orang anak muda itu sampai ke telinga pemilik peternakan sapi yang merupakan salah satu yang terbesar di Pekalongan itu. ”Benarkah kalian ingin membuat rumah anak yatim,” demikian pertanyaan ayah lima orang anak itu kepada Alwi bin Abdullah dan Ali bin Husain yang datang ke rumahnya.
Pertanyaan itu langsung disambut oleh keduanya dengan membeberkan rencana mereka, yakni membuat panti asuhan untuk anak-anak yatim. Dan gayung pun bersambut. Muhammad bin Alwi Assegaf langsung menyatakan niatnya untuk mewakafkan sebidang tanah kosong miliknya di Jalan Teratai No. 59A Pekalongan. “Tapi jika dalam waktu satu tahun panti itu tidak dibangun maka tanah itu akan saya ambil kembali”, ujarnya seperti ditirukan oleh menantunya.
Walau berat, syarat itu pun disetujui. Dan kenyataannya rencana untuk membangun sebuah gedung di atas lahan berukuran 36 x 70 meter itu bukanlah pekerjaan yang ringan. Alih-alih untuk mendirikan, dana guna membeli bahan bangunan pun belum ada.
Keadaan itu berlarut-larut hingga mendekati batas waktu yang ditentukan. Alwi bin Abdullah pun mulai kebingungan. Setelah berunding dengan Ali bin Husain dan Alwi bin Husen jalan keluar pun didapat. Salah satu diantara mereka mengatakan: ”Ini sudah ada tanah untuk membangun panti. Jadi kita jangan bingung. Permintaan Muhammad bin Alwi Assegaf hanyalah ada tanda-tanda untuk membangun, maka kita beli beberapa ratus bata dan kita tata di tanah tersebut. “Itu sudah menunjukkan adanya tanda-tanda dibangun,” katanya.
Kegembiraan pun meruap. Tapi hanya sekejap. Soalnya, dari mana uang untuk membeli bahan-bahan bangunan itu. Enggan kehilangan kesempatan, mereka pun ‘nekad’ berhutang ke sebuah toko bahan bangunan. Langkah itu lah yang belakangan menyelamatkan tanah wakaf cikal bakal berdirinya gedung panti asuhan Daarul Aitam. Karena sudah terlihat adanya upaya pembangunan, Muhammad bin Alwi Assegaf urung menarik kembali lahannya itu.
Tapi persoalan bukan berarti selesai. Ketika utang atas bahan bangunan itu telah jatuh tempo rupanya tiga orang yang menggagas berdirinya rumah anak yatim itu belum juga bisa mengumpulkan uang. Uniknya, untuk membayar utang sekitar Rp. 21 ribu tersebut Alwi bin Abdullah mendapat pinjaman dari Muhammad bin Alwi Assegaf sebesar Rp. 7.000,-
Sejatinya, sumbangan yang diberikan oleh Muhammad bin Alwi Assegaf bukan hanya itu. Dia juga meminjamkan sebuah rumahnya yang terletak tak jauh dari tanah yang diwakafkannya. Tempat tinggal itu digunakan sebagai rumah sementara buat anak-anak yatim. Maklum, sebelum bangunan panti berdiri sudah ada anak yatim yang bersedia untuk dibina.
Menurut Muhamad bin Alwi – anak dari Alwi bin Abdullah – anak yatim yang pertama kali diasuh adalah Thahir bin Yahya. Ia adalah seorang anak yatim dari daerah Sragi, Comal, Jawa Tengah. Karena tak ada teman, maka Alwi bin Abdullah menyuruh putranya itu untuk menemani Thahir. Kebetulan mereka memang seumuran. “Ketika itu saya dan Thohir sering bermain bersama. Terkadang dia juga saya ajak menginap di rumah,” kenang Muhamad bin Alwi.
’Kesendirian’ Thahir tak berlangung lama. Baru berselang satu hingga dua bulan ada satu anak yatim lagi yang diasuh di panti. Dan selama tahun pertama tercatat sekitar 25 anak yatim. Uniknya, sebagian besar dari mereka anak-anak yatim dari luar kota Pekalongan. “Pada masa-masa itu warga Pekalongan agaknya belum percaya dengan Daarul Aitam. Tapi setelah dua tahun berjalan barulah sejumlah warga Pekalongan mempercayakan anak mereka untuk diasuh di panti,” kata Muhamad bin Alwi.
Sementara, anak-anak masih di tampung di rumah yang dipinjamkan oleh Muhammad bin Alwi Assegaf, pembangunan panti mulai berjalan. Tapi upaya untuk membuat ’papan’ bagi anak-anak yatim itu juga dilalui dengan usaha keras. Alwi bin Abdullah dan Ali bin Husein bahkan sampai pergi ke Surabaya untuk mencari bantuan dari para pengusaha di Kota Pahlawan itu. Turut bersama mereka Alwi bin Husein, seorang pengusaha dari Gresik, kota kecil yang berbatasan dengan Surabaya. Alwi bin Husein adalah saudara ipar Ali bin Husein.
Ketika itu, di kota buaya itu memang banyak pengusaha yang diharapkan bisa memberikan bantuan. Namun, di sana yang mereka mesti menerima komentar-komentar sinis. “Bagaimana Anda mendirikan panti di Pekalongan, sementara di Surabaya yang lebih banyak pengusahanya saja cukup susah (untuk mendirikan panti-red),” kata mereka.
Ketika sebagian pergi ke Surabaya, Alwi bin Husen Shabab melawat ke Semarang dan Kudus, Jawa Tengah. Di kota-kota itu Alwi yang saat ini berusia sekitar 90 tahun melakukan hal yang sama, yakni menggali dana untuk membangun panti asuhan Daarul Aitam.
Upaya keras untuk memuliakan anak-anak yatim itu akhirnya dimudahkan oleh Allah SWT. Walau berseliweran suara tak sedap, toh ada saja pengusaha yang memberikan sumbangan. Hingga akhirnya dana untuk membangun gedung pertama Panti Asuhan Daarul Aitam terkumpul. Bukan hanya itu tak sedikit ibu-ibu di Pekalongan yang menggelontorkan sumbangan. Ada yang memberikan gelang, kalung, cincin, bahkan tanah dan rumah-rumahnya.
Rumah dan tanah yang diwaqafkan ke panti antara lain berasal dari Syarifah Salmah binti Muhammad bin Salim Alatas, Syarifah Rugayah binti Muhamad bin Salim Alatas, Habib Gasim Shahab, Syarifah Nur binti Ahmad Al Jufri, Syarifah Chotidjah binti Muhamad bin Salim Alatas, Syarifah Alwiyah binti Husin Maulachelah, Syarifah Nur binti Muhamad bin Salim Alatas, Syarifah Aminah Alatas, Syarifah Syifa binti Ali Al Jufri, Habib Usman bin Abdullah bin Yahya.
Pembangunan asrama tahap pertama dengan kapasitas 30 anak ditangani oleh Ahmad bin Ali Shahab sebagai panitia pembangunan dan dengan menelan biaya sekitar Rp 88 ribu. Uang tersebut didapat dari sokongan masyarakat dan diresmikan pembukannya pada 12 Muharam 1373 atau 10 September 1954. Sejak hari itu, puluhan anak yatim mulai dipindahkan dan tinggal di sana.
Berdirinya bangunan panti itu membuat tiga orang pemrakarsa itu lantas berfikir keras bagaimana mesti merawat, memberikan sandang, pangan, hingga pendidikan kepada puluhan anak yatim yang telah mereka kumpulkan.
Kendala lain yang dihadapi adalah mengenai legalitas panti. Mengingat tiga orang pemrakarsa itu juga aktif di kegiatan Arrobitoh Al Alawiyah, panti asuhan tersebut kemudian menginduk ke Yayasan Arrobitoh Al Alawiyah Daarul Aitam di Jakarta yang telah berdiri sejak 12 Agustus 1931. ”Ayah saya terinspirasi untuk mendirikan panti salah satunya setelah pergi ke Jakarta dan melihat Daarul Aitam di sana yang dikelola dengan baik,” terang Muhamad bin Alwi.
Hal itu dituangkan pada akte notaris Sie Khwan Djioe No. 14 tanggal 4 September 1951. Sejumlah nama yang tersebut di sana antara lain Sayid Umar bin Husein bin Shahab, Sayid Alwi bin Abdullah Alatas, dan Sayid Ahmad bin Ali bin Shahab. Karena itu secara resmi, panti asuhan Arrobitoh Al Alawiyah Daarul Aitam cabang Pekalongan berdiri pada 22 Syawal 1370 H yang bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1951.
Sebenarnya, pada awal pendirian itu, bukan hanya persoalan dana yang menjadi ganjalan. Untuk mencari anak-anak yatim yang mau tinggal di panti pun bukan pekerjaan mudah. Sebagian besar orang masih belum percaya jika anaknya tinggal dan dirawat di sana. Khusus masyarakat Pekalongan bayangan ’gelap’ tentang kehidupan di panti kian pekat oleh kondisi yang dialami anak-anak yang tinggal di rumah miskin (rumah yang digunakan untuk menampung anak-anak miskin dan telantar). Mereka hanya sekedar diberikan makan dan tak dididik dengan baik.
Namun - meski dengan banyak kendala - tahun pertama pengelolaan panti bisa berjalan dengan baik. Buktinya, anak-anak yatim cukup betah tinggal di Panti dan tidak ada keluhan. Hal itu lah yang kemudian membuat yakin dan menarik minat sebagian warga untuk menitipkan anaknya ke panti asuhan Daarul Aitam.
Menariknya, tak lama setelah panti asuhan Arrobitoh Al Alawiyah Daarul Aitam cabang Pekalongan mulai berjalan Alwi bin Abdullah pelan-pelan menarik diri dari kepengurusan dan menyerahkan pengelolaan panti ke rekan-rekannya. Ulama dan pendidik - bukan hanya di Pekalongan dia juga pernah mengajar di Solo, Jawa Tengah dan di Malaysia selama dua tahun – meninggal tahun 1968 di usianya yang ke-53. Laki-laki kelahiran Pekalongan itu tercatat juga pernah belajar di Yaman dan Mekkah, Saudi Arabia.
Pasang naik dan surut pun pernah menghiasi perjalanan salah satu panti terbaik di Pekalongan itu. Salim Idrus, salah seorang mantan pengurus menuturkan suatu ketika cadangan bahan makanan di panti sangat menipis. Hingga dia mesti menghubungi banyak orang untuk meminta bantuan. Dan selama masa itu anak-anak mesti makan hanya dengan menggunakan kerupuk yang dibagi dua.
Bahkan pernah karena saking tidak adanya dana – tapi masih ada keinginan untuk menjaga asupan vitamin ke anak-anak panti - seorang pengurus berpesan ke pedagang-pedagang daging di Pasar Pekalongan: jika tidak bisa memberikan daging, maka tulang pun akan diterima. ”Tulang itu akan dimasak sehingga masih ada kaldu untuk anak-anak,” cetusnya dengan getir.
Kisah sedih itu terjadi ketika sumbangan dari donator berkurang. Memang, pada awal-awal pendirian pendanaan untuk menghidupi dan membina anak-anak yatim sangat tergantung pada bantuan dari donator. Sehingga, jika bantuan menyusut, kemampuan untuk menghidupi anak-anak pun ikut limbung.
Tapi masa-masa krisis itu tak berlangsung lama. Seorang pengusaha di Pekalongan yang juga aktif di panti, yakni Muhamad bin Abdurrahman tak jarang mengundang seluruh anak yatim di panti untuk datang dan makan di rumahnya. Dia juga tak segan-segan mengajak anak-anak itu bertamasya ke villa miliknya.
Dan kini, panti asuhan yang didirikan untuk umum dan menerima anak-anak yatim yang membutuhkan pemeliharaan dan berumur 6-10 tahun itu semakin mandiri. Jumlah anak yang diasuh pun semakin bertambah - sekitar 100 orang - dan pengurus mulai berancang-ancang untuk menambahnya menjadi 200 orang. Bagi anak-anak yang tidak mendapat kesempatan tinggal di asrama, pengurus juga menyiapkan santunan kepada mereka berupa biaya makan dan sekolah.
Pendidikan anak-anak yatim itu pun cukup terjamin. Semua anak bersekolah di luar asrama mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA). Anak-anak yang memiliki prestasi bagus diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan biaya mereka akan ditanggung oleh panti asuhan. Hingga saat ini telah banyak anak yatim dari Daarul Aitam yang berhasil meraih gelar sarjana. Selain pendidikan formal, tentu saja, anak-anak yatim yang tinggal di asrama mendapat ilmu tambahan berupa pendidikan agama Islam dan beragam ketrampilan.
Salim Idrus yang juga seorang pengajar yang cukup lama bergelut dengan anak-anak yatim di panti asuhan Daarul Aitam menuturkan bahwa belakangan banyak orang yang menitipkan anaknya di panti. Hal itu terjadi lantaran pembinaan yang cukup baik sehingga tak sedikit anak-anak binaan yang berhasil dan berprestasi. Selama mendampingi anak-anak di panti dia sering mengamati bakat dan lantas mengarahkannya.
Selain itu, Salim juga menerangkan bahwa sekitar tahun 1990-an, panti asuhan Daarul Aitam mulai memberlakukan sistem non panti. Namun, untuk model yang satu ini ada dua hal yang mesti mendapat perhatian serius, yakni ijin dan kontrol terhadap anak-anak binaan. ”Karena tidak diawasi tiap hari maka mesti ada sistem yang menjamin bahwa anak-anak terbina dengan cukup baik,” katanya.
Sumber dana untuk memutar roda kehidupan asrama tersebut juga kian beragam. Selain berasal dari Subsidi Pemda Tingkat I Jawa Tengah (yang diterima sejak 1955), Yayasan Dharmais Jakarta (sejak 1979), PKPS-BBM KS, infaq dan zakat dari masyarakat, uang hasil kontrakan milik panti asuhan, juga ada sejumlah kegiatan usaha untuk menambah kas. Misalnya, penjualan cairan pembersih lantai dan cairan pelembut dan pewangi pakaian.
Seiring berjalannya waktu, panti asuhan Arrobitoh Al Alawiyah Daarul Aitam cabang Pekalongan yang semula hanya menerima anak laki-laki, pada tahun 1981 atas bantuan dan takdir Allah SWT merampungkan pembangunan asrama putri. Asrama tersebut mampu menampung 40 anak asuh. Secara resmi asrama ini dibuka pada 22 A gustus 1981 atau 22 Syawal 1401 H.
Tak berhenti hanya di situ, pada tahun 2005 lalu bangunan tersebut kembali diperbarui. Renovasi gedung asrama itu, meliputi tiga ruang tidur anak, dua ruang keterampilan, satu ruang belajar dan satu ruang kantor. Selain itu juga diperbarui tujuh kamar mandi, satu ruang tempat sepatu, dan gudang serta aula kegiatan anak dan taman.
Saking indah dan menariknya bangunan itu, Ali Alatas, mantan menteri luar negeri RI yang juga Ketua Badan Pembina Yayasan Daarul Aitam, merasa bangga saat meresmikan penggunaan bangunan tersebut. Ketika itu hampir tiap sudut ruang yang dibangun dengan dana sebesar Rp 700 juta itu tak lepas dari perhatiannya.
Sementara, di mata Kepala Sekolah Menengah Pertama Ma’had Islam di Pekalongan, sarana fisik Daarul Aitam cukup bagus. “Bangunannya seperti hotel,” selorohnya.
Menurutnya, mendidik anak yatim memang tidak mudah. Kejiwaan anak-anak itu berbeda dengan anak-anak lain karena tidak ada orang tua. Namun prestasi akademik anak-anak yatim tersebut beberapa tahun belakangan terlihat meningkat, anak-anak yatim itu banyak berprestasi di bidang olah raga. Mereka juga terbiasa bersosialisasi sehingga menjadi lebih ‘berani’ ketika diminta mengerjakan tugas. “Komunikasi guru-guru dengan pengasuh panti juga cukup bagus,” ujarnya.
Agaknya tak salah sasaran Panti Asuhan Daarul Aitam cabang Pekalongan yang dikumandangkan oleh para pemrakarsa sejak setengah abad lalu. Sasaran-sasaran antara lain adalah mempersiapkan anak asuh menjadi berdaya guna dan sadar akan tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat, mengembangkan potensi yang tepat pada anak asuh, sehingga mereka dapat melakukan fungsi sosialnya dengan baik, menghindarkan jurang pemisah dalam pergaulan antara warga panti dan masyarakat sekelilingnya, menciptakan suasana kekeluargaan, menyalurkan warga panti ke berbagai lapangan kerja sesuai dengan minat dan kamampuan yang dimilikinya, dan memberikan pembinaan lanjutan dalam batas waktu tertentu kepada mereka yang telah kembali dalam masyarakat.